Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI) mengungkapkan hasil temuan riset mereka tentang kondisi Hutan Perempuan Suku Enggros Papua. Temuan penelitian hasil kolaborasi lintas lembaga tersebut menyatakan bahwa kondisi Hutan Perempuan Suku Enggros Papua, di Teluk Youtefa Kota Jayapura dalam kondisi tercemar dan kritis.
Hutan Perempuan Suku Enggros Papua, di Teluk Youtefa Kota Jayapura, Provinsi Papua merupakan satu dari beberapa hutan adat di wilayah Indonesia yang mulai mengalami penurunan kualitas lingkungan.
Hutan Adat
Hutan Perempuan Suku Enggros Papua juga merupakan hutan mangrove yang termasuk hutan adat di Teluk Youtefa, hutan yang mempunyai nilai jasa ekosistem hutan mangrove yang tinggi.
Pengelolaan hutan perempuan mangrove di Teluk Youtefa selama ini dilakukan melalui hukum adat Suku Enggros.
Hukum adat tersebut menetapkan hutan mangrove khusus untuk Perempuan Suku Enggros, melalui tradisi ‘Ton atau Tonotwiyat’ atau “Hutan Perempuan”.
Tonotwiyat adalah sistem pelestarian hutan mangrove yang telah ada bertahun-tahun lamanya dan merupakan warisan leluhur adat untuk Perempuan Suku Enggros.
Suku Enggros mengatur pembagian wilayah mencari makan mereka antara laki-laki dan perempuan melalui adat mereka.
Tradisi “Tonotwiyat” inilah yang kemudian membuat hubungan perempuan Enggros dengan mangrove menjadi sangat erat .
Kawasan Hutan Perempuan seluruhnya ditetapkan oleh adat hanya untuk para perempuan dalam beraktivitas seperti mencari ikan dan lain-lain. Sedangkan laki-laki, mencari ikan di wilayah laut.
Adat Suku Enggros mengatur jika ada laki-laki yang masuk ke wilayah Hutan Perempuan, maka akan diberikan sanksi adat oleh kepala suku Enggros.
Sederhananya, laki-laki dilarang memasuki kawasan hutan mangrove perempuan.
Biasanya, perempuan adat Enggros mencari nafkah dengan mencari kerang yang didapat dari Hutan Perempuan, dijual di pasar dan sebagian dikonsumsi untuk makan sehari-hari.
Degradasi Lingkungan
Namun, beberapa tahun terakhir, Hutan Perempuan mengalami degradasi lingkungan berupa pencemaran air dan pencemaran limbah padat.
Padahal, Hutan Perempuan merupakan tempat Perempuan Suku Enggros mencari nafkah serta tempat hak adat Perempuan Suku Enggros. Hutan adat menjadi tempat ketergantungan perempuan adat Suku Enggros.
Karenany,a permasalahan Hutan Perempuan ini tidak bisa hanya diselesaikan dalam bentuk upaya mengurangi limbah padat atau sampah di Hutan Perempuan. Lebih dari itu, bagaimana mempertahankan keberadaan serta fungsi jasa ekosistem Hutan Perempuan agar terus berkelanjutan.
Gender dan Lingkungan
Merujuk pada temuan riset Ilmu Lingkungan UI, secara konseptual academic novelty dari riset yang dilakukan oleh tim Universitas Indonesia adalah menghubungkan isu gender dengan fungsi jasa ekosistem yang dianalisis berdasarkan manfaat ekologi serta nilai ekonomi berdasarkan fungsi jasa ekosistem tersebut.
Penerapan keberlanjutan lingkungan bisa diaplikasikan untuk mengelola kelestarian hutan adat.
Menjaga kemampuan lingkungan untuk mendukung pembangunan merupakan usaha untuk mencapai pembangunan jangka panjang yang mencakup jangka waktu antar-generasi yang berwawasan lingkungan dengan menggunakan sumberdaya secara bijaksana adalah arti keberlanjutan menurut Otto Soemarwoto.
Selain itu, riset yang dilakukan oleh Universitas Indonesia memberikan sumbangan hasil penelitian untuk teori-teori utama yang telah dijabarkan dalam riset-riset terdahulu.
Dengan menempuh jarak ribuan kilo meter selama satu tahun lamanya tim riset UI melakukan kegiatannya dimulai sejak Juli 2021 hingga Juli 2022.
Riset yang dilakukan oleh Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI) melalui Klaster Riset Interaksi, Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan Sosial terlaksana atas kolaborasi kerjasama lintas lembaga yaitu dengan LPPM Universitas Papua, LPPM Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, Balai Penelitian dan Pengembangan LHK (BP2LHK) Manokwari dan Kampung Enggros Papua.
Hutan Perempuan Kritis
Hasil temuan riset tentang Hutan Perempuan menunjukan bahwa Fungsi jasa ekosistem Hutan Perempuan yang mengalami penurunan terdapat dalam semua tipologi jasa ekosistem.
Mulai dari Jasa Penyediaan atau Provisioning Services yaitu menurunnya jumlah bia noor (kerang) yang berpengaruh ke penurunan pendapatan Perempuan Suku Enggros.
Kemudian jasa Pengaturan atau Regulating Services yaitu penurunan kualitas air di Hutan Perempuan
Pada jasa habitat atau Habitat Services yaitu menurunnya jumlah bia noor karena tidak bisa berkembang biak karena terhalang tumpukan sampah.
Terkahir, menurunnya Jasa Budaya atau Cultural and Amenities Services yaitu Perempuan Suku Enggros tidak bisa berlama-lama berada di hutan karena kualitas air dan kondisi hutan yang sudah menurun menyebabkan penyakit gatal-gatal dibadan.
Sehingga hak adat mereka terganggu karena mereka tidak bisa lama-lama di hutan untuk berinteraksi dengan sesama perempuan lain.
Merujuk hasil temuan riset, diungkapkan bahwa kondisi hutan perempuan di Papua saat ini dalam keadaan kritis. Karenanya dibutuhkan pengelolaan yang berkelanjutan dari sisi lingkungan, ekonomi, dan sosialnya.
“Kondisi Hutan Perempuan saat ini dapat dikatakan kritis ya, makanya strategi pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dari sisi lingkungannya, ekonomi, dan sosialnya perlu diketahui oleh Perempuan Suku Enggros dan masyarakat Suku Enggros maupun masyarakat Kota Jayapura supaya bisa terus lestari.
Sebagai periset, yang bisa tim kami lakukan saat ini adalah melakukan penelitian dengan output konstruksi strategi pengelolaan hutan berkelanjutan dan usulan supaya masalah-masalah di sana bisa terselesaikan” kata Ketua Tim Riset, Herdis Herdiansyah kepada Klikers.id (20/08/2022).
Karenanya tim riset merekomendasikan agar keberlanjutan Hutan Perempuan tetap dipertahankan dengan tidak mengurasi luasan Hutan Perempuan, menghilangkan timbulan limbah padat di Hutan Perempuan, serta menurunkan pencemaran air laut di Hutan Perempuan agar memenuhi baku mutu sesuai dengan aturan yang berlaku.
Keberlanjutan juga didukung dengan adanya regenerasi ke Perempuan Muda Suku Enggros yang harus tetap memanfaatkan Hutan Perempuan dimasa yang akan datang.
Riset di Hutan Perempuan tersebut didukung penuh dan disponsori oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia Program RISPRO LPDP Tahun 2021 Nomor Kontrak 002/E4.1/AK.04.RA/2021.
Tim Riset didukung oleh Kepala Kampung dan Kepala Suku di Kampung Enggros, Tim BKSDA Papua, Rumah Bakau Jayapura, Ibu Yulika Anastasia (Imaji Papua), Kepala Bidang Persampahan Dinas Lingkungan Hidup Kota Jayapura Bapak Agus Ondi dan Bapak Yudha Balai Budaya dan Bahasa Papua yang telah juga mendukung riset ini.