By: Dr. Mohamad Ramdon Dasuki Lc., MA.
(Dekan Fakultas Sastra UNPAM, Pemerhati Geopolitik Timur Tengah)
Fenomena konflik di Timur Tengah, khususnya konflik antara Palestina dan Israel, masih terus menyala, seakan membawa kita untuk merenung pada konflik serupa yang terjadi pada tahun 1948, 1967, dan 1973. Peristiwa tersebut terus berlanjut secara sporadis selama dekade-dekade berikutnya, seperti pada tahun 1980-an, 1990-an, hingga awal tahun 2000-an, yang ditandai oleh perlawanan Intifadah. Para pejuang Palestina, hanya bersenjatakan batu dan ketapel, menghadapi tentara dan polisi Zionis yang dilengkapi dengan peralatan tempur modern.
Sebenarnya, ingatan kita belum lama lalu berpindah ke gelombang Arab Spring yang melanda beberapa negara di Timur Tengah beberapa tahun silam. Gelombang ini merupakan perlawanan dari kelompok oposisi terhadap rezim diktator di beberapa negara Arab. Mereka didukung oleh kekuatan Barat yang tidak menyukai pemimpin Arab yang dianggap menentang kebijakan Barat, seperti Mo’ammar Khadafie di Libya, Saddam Hussein di Irak, Zine El Abidine di Tunisia, dan Hosni Mubarak di Mesir.
Suriah juga terguncang dalam gelombang ini, bahkan dampaknya masih terasa hingga saat ini. Sementara itu, Yaman mengalami ketegangan yang ingin memecah belah negaranya. Qatar, di sisi lain, menghadapi embargo karena tindakannya yang semakin menentang beberapa kebijakan Barat dan mendekatkan diri kepada Turki.
Namun, negara-negara yang berbentuk kerajaan atau kesultanan dianggap masih tunduk pada kebijakan Barat, sehingga mereka dibiarkan relatif tenang karena ketergantungan Barat pada sumber daya minyak mereka. Secara sederhana, faktor ekonomi tetap menjadi pertimbangan utama dalam dinamika politik regional Timur Tengah, menjadi alasan mengapa beberapa situasi terus dibiarkan dan mendapat belaian keras.
Bahkan beberapa dekade lalu ingatan segar kita masih teringat dengan invasi Irak ke Kuwait, Amerika menginvasi Irak dan Afghanistan, Perang saudara antara Yaman utara dengan Yaman selatan, sebelumnya perang Iran-Irak selama 12 tahun lamanya, sebelumnya lagi perang saudara antara faksi di Libanon selama 14 tahun lamanya, dan sebelumnya lagi rentetan pertikaian antara kelompok agama, faksi kekuatan politik dan ideology, etnis, dan lainnya kerap mewarnai kawasan Timur-Tengah yang nyaris tak pernah lama alami suasana kondusif apalagi tenang.
Kembali ke permasalahan konflik Palestina-Israel atau Arab-Israel, yang beberapa kalangan sebut sebagai konflik abadi yang akan terus berlangsung hingga kiamat. Menurut pandangan penulis, Israel memiliki peran penting di mata Barat, terutama di Eropa dan Amerika, yang dianggap sangat menentukan dan menguntungkan bagi mereka untuk terus dipelihara dan dijaga.
Meskipun diklaim oleh dunia Islam sebagai negara Zionis dan Yahudi yang terus memusuhi Islam, Israel selalu menggunakan politik standar ganda yang sering digunakan oleh Barat demi masa depan mereka, baik 50 tahun, 100 tahun ke depan, atau bahkan lebih, dan tetap memberikan kontribusi yang menguntungkan negara-negara Barat.
Aspek ekonomi menjadi sangat menguntungkan dan menggiurkan bagi para pedagang dan pialang internasional, yang masih banyak didominasi oleh orang-orang Yahudi. Hal ini disebabkan oleh kendali Amerika dan Eropa atas sumber daya minyak dan gas alam, terutama di wilayah Teluk.
Sementara itu, Israel terus lancar dalam penjualan senjata dan peralatan teknologi super mahal, yang tetap diminati oleh negara-negara Teluk yang memperoleh keuntungan dari penjualan minyak dan gas bumi mereka. Meskipun tidak pernah ada perjanjian alih teknologi secara SDM, mereka hanya berperan sebagai pengguna, tanpa memiliki keinginan untuk menguasai teknologi modern. Hal ini berlaku meskipun suatu saat cadangan minyak dan gas alam mereka habis terjual habis.
Selama Israel dan beberapa negara Arab masih menjadi boneka Barat, jalur perekonomian mereka akan tetap aman, sementara tetap menimbulkan ketegangan di wilayah lainnya. Setelah Mesir merebut terusan Suez yang dibangun oleh Perancis, Inggris, dan Israel dalam perang tahun 1973 dengan bantuan persenjataan dari Uni Soviet, kini Amerika, Inggris, Perancis, dan sekutu-sekutunya dikabarkan berencana untuk membelah gurun pasir yang melintasi wilayah Palestina bagian selatan yang telah direbut oleh Israel hingga mencapai teluk Naqaba di Lautan Arabia.
Hal ini akan memberikan alternatif baru selain terusan Suez yang sekarang dikuasai penuh oleh Mesir, menguntungkan Barat, dan tentu saja membuat Israel, sebagai boneka utama mereka, semakin strategis di wilayah Timur-Tengah dan secara luas di dunia. Dengan demikian, cengkeraman kuat Barat terhadap Timur-Tengah semakin memperkokoh.
Oleh karena itu, gejolak, kerusuhan, atau peperangan apapun tidak akan pernah mendekati wilayah mereka sendiri, melainkan akan terus berpusat di sekitar Timur-Tengah yang telah direncanakan dengan cermat. Apakah skenario serupa telah atau sedang dirancang di Laut Cina Selatan? Banyak negara di kawasan itu kini berlomba-lomba untuk membeli alutsista, pesawat tempur, kapal perusak, dan lainnya, yang semuanya kembali ditawarkan oleh Barat dengan keuntungan besar meskipun dengan harga yang fantastis.
Meski demikian, pembelian tersebut tetap dilakukan tanpa mempertimbangkan alasan pertahanan teritorial masing-masing negara di kawasan. Dalam waktu yang bersamaan, Barat memperoleh keuntungan besar sementara kekacauan tetap berada di luar wilayah teritorial mereka. Dengan kata lain, mereka meraup keuntungan menjelang, selama, dan bahkan setelah perang yang mungkin terjadi di masa depan.
Masih dalam konteks ekonomi global, aturan hak veto yang diterapkan oleh lembaga dunia terbesar, PBB, pada kenyataannya didominasi oleh negara-negara Barat, seperti Amerika, Perancis, dan Inggris, sedangkan Rusia dan Cina hanya sesekali menggunakan hak veto mereka, terkadang hanya untuk kepentingan nasional masing-masing, tanpa sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan dunia Timur dalam banyak konflik.
Hal ini mengindikasikan bahwa dalam praktik kehidupan global saat ini, asas “hukum rimba” yang menyatakan bahwa yang kuat akan menguasai yang lemah benar-benar terjadi. Dengan demikian, perilaku pasar ekonomi akan terus mengikuti kepentingan pihak yang memiliki kekuatan, dan tindakan menjarah atau eksploitasi terhadap pihak yang lebih lemah akan menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari.
Mengapa Rusia dengan semangat dan ketelitian melibatkan diri dalam perang berkepanjangan dengan mantan bagian negaranya, Ukraina? Ini dikarenakan wilayah perbatasan mereka semakin mendekati pusat pemerintahan di Moskow, yang membuatnya tidak menguntungkan dari segala segi. Ini termasuk aspek ekonomi, di mana jalur pipa gas Rusia yang diekspor ke Eropa dan jalur ekonomi lainnya masih terhubung ke beberapa wilayah Ukraina, yang sampai saat ini masih dikuasai oleh tentara Rusia.
Hal yang serupa juga dirasakan oleh tiga pemimpin lama Timur-Tengah, seperti Mesir, Iran, dan Turki. Terlepas dari aspek ideologi dan agama, kenyataannya banyak pertimbangan lain yang melebihi sekadar pertimbangan agama dan ideologi. Ketiga pemimpin ini memiliki kronologi sejarah yang berbeda satu sama lain, yang relatif unik.
Mesir pernah menjadi pemimpin di antara negara-negara Arab, terutama saat menghadapi beberapa peperangan dengan Israel. Namun, saat ini, Mesir cenderung lebih banyak berdiam diri dan enggan berkonfrontasi secara langsung. Apakah itu karena kelelahan dari perang atau alasan-alasan lain yang masih perlu dikonfirmasi kebenarannya.
Turki, yang dulunya merupakan penguasa yang tangguh di Timur-Tengah selama beberapa abad, akhirnya tergerus oleh kekuatan Eropa seperti Inggris, Perancis, dan lainnya. Mereka mendukung propinsi-propinsi kekaisaran Utsmani untuk memberontak dan memerdekakan diri dari kekuasaan Kekaisaran Ottoman. Meski begitu, Turki masih berupaya melindungi bekas wilayah propinsinya di sepanjang Timur-Tengah dari gangguan Barat, terutama oleh Israel, yang dianggap sebagai boneka kesayangan Barat.
Iran memiliki sejarah yang menarik. Pada masa lalu, mereka menjalin hubungan erat dan harmonis dengan Israel karena penguasa Iran yang lama, Syah Reza Pahlevi, merupakan sekutu utama Amerika dan Eropa di Timur-Tengah sebelum Israel mencapai posisi kuat seperti sekarang. Namun, segalanya berubah drastis setelah penguasa tirani Pahlevi digulingkan oleh gerakan rakyat yang dipimpin oleh Khomeini, yang berhaluan Islam Syi’ah. Hingga saat ini, Iran menjadi penentang utama terhadap hegemoni Barat dan Israel di kawasan dan dunia secara umum.
Ketiga pemimpin lama Timur-Tengah tentunya merasa tidak nyaman jika wilayah laut dan teritorial terdekatnya diramaikan oleh kekuatan asing yang berpatroli dengan membawa kapal dan pasukannya. Meskipun Barat harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit untuk mengoperasikan armada laut dan udara, mereka ingin menegaskan bahwa ‘wakil’ atau ‘sherif’ mereka, yaitu Israel, tidak boleh dihilangkan dari Timur-Tengah karena ia tetap menjadi representasi Barat. Terkadang, Israel bertindak sebagai ‘pengganggu’ bagi orang-orang Arab, berpura-pura menjadi sahabat bagi beberapa negara Arab tertentu, atau bahkan berperan sebagai mata-mata bagi komunitas Barat yang terdiri dari Eropa dan Amerika. Seringkali juga, Israel menjadi alat pembunuhan warga Palestina dengan dalih berbagai justifikasi, mirip dengan perilaku nenek moyangnya yang terusir dari wilayahnya dan bahkan dari Eropa selama Perang Dunia II.
Oleh karena itu, terlepas dari decak kagum terhadap usaha Hamas dalam menghadapi Israel sejak 07 Oktober lalu, tampaknya penting untuk menelaah tafsir tentang Israel dan hegemoni Barat secara holistik. Kita perlu melihatnya tidak hanya dari sudut pandang ideologi dan agama, tetapi juga melalui lensa historis dan realitas kekinian yang akan memberikan dampak ke masa depan dunia. Meskipun tafsir agama memiliki kepentingannya, tafsir realitas juga tak kalah vital dalam membaca ayat-ayat Tuhan dan kehidupan, yang perlu meresap ke bumi dan tidak hanya terbang di awang-awang langit.
Sepertinya Barat masih menerapkan standar ganda, di mana baginya, tidak ada persahabatan yang abadi di muka bumi ini karena yang dianggap abadi hanyalah kepentingan itu sendiri.